Mengenai Saya

Foto saya
Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, Indonesia
Aku mencoba belajar dari Anda, untuk mencintai kesederhanaan dan kejujuran. Tumpahkan segala yang menyesakkan dada Anda dalam blog ini. Anggaplah blok ini sebagai lautan yang menampung segalamya dari Anda.

Senin, 16 Februari 2009

Sertifikasi Guru Kehilangan roh

Sertifikasi Guru: Sebuah Cermin Retak
Oleh: Sigit Priyanto*

Pelaksanaan sertifikasi guru senantiasa menjadi topik pembicaraan yang tidak ada habis-habisnya oleh guru sendiri maupun oleh masyarakat luas. Pengertian sertifakasi guru selalu dianalogikan oleh masyarakat luas pada sosok guru profesional, cerdas, pintar, loyal pada profresinya dan bergaji layak. Sudah barang tentu, analogi ini tidak terlau berlebihan bila kita menengok esensi tujuan sertifikasi yang sebenar-benarnya, yaitu: (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (3) meningkatkan martabat guru, (4) meningkatkan profesionalitas guru, (5) meningkatkan kesejahteraan guru.
Tidak dapat diragukan niat baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraaan guru dibarengi upaya meningkatkan mutu guru melalui sertifikasi guru. Guru yang telah lulus uji sertifikasi guru akan diberi tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok sebagai bentuk upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tunjangan tersebut berlaku, baik bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatus bukan pegawai negeri sipil (swasta). Dengan meningkatnya mutu dan kesejahteraan guru maka diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan.
Bertolak dari tujuan sertifikasi di atas yang pelaksanaannya demi memenuhi amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, kita tidak dapat memungkiri bahwa tujuan sertifikasi sangat indah dan mulia.
Sertifikasi mengacu pada kompetensi guru dan standar kompetensi guru. Kompetensi guru mencakup empat kompetensi pokok yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Inilah yang kadang menjadi kenyataan yang teramat ironis. Untuk memberikan sertifikat pendidik kepada guru profesional, uji kompetensinya melalui penilaian portofolio semata. Kenyataan ini pun juga tidak teramat salah karena undang-undangnya mengharuskan demikian.
Dalam sertifikasi guru, portofolio bak dewa yang menentukan segala-galanya. Keprofesionalan guru yang mengacu pada kopentensi guru dan standar kompetensi guru sangat ditentukan oleh dewa yang bernama portofolio. Maka tidak salah pula bila seorang guru mendewa-dewakan portofolio dengan berbagai cara .
Seperti apakah sang portofolio itu sehingga dapat menentukan nasib seorang guru. Dalam konteks sertifikasi guru, portofolio adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai selama menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran.
Keefektifan pelaksanaan peran sebagai agen pembelajaran tergantung pada tingkat kompetensi guru yang bersangkutan, yang mencakup kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru dalam jabatan adalah untuk menilai kompetensi guru sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, prestasi akademik, dan karya pengembangan profesi.
Secara teoritis, portofolio berfungsi sebagai: (1) wahana guru untuk menampilkan dan/atau membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung; (2) informasi/data dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi seorang guru. Sekalai lagi, secara teoritis pula, portofolio merupakan dokumen yang mencerminkan rekam jejak prestasi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai agen pembejalaran, sebagai dasar untuk menentukan tingkat profesionalitas guru yang bersangkutan.
Portofolio guru terdiri atas 10 komponen, yaitu: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Sepuluh komponen portofolio tersebut dianggap sebagai refleksi dari empat kompetensi guru. Setiap komponen portofolio dianggap dapat memberikan gambaran satu atau lebih kompetensi guru peserta sertifikasi, dan secara akumulatif dari sebagian atau keseluruhan komponen portofolio merefleksikan keempat kompetensi guru yang bersangkutan.
Inilah cermin mutu pendidikan kita. Keprofesional seorang guru ditentukan oleh bukti fisik sepuluh komponen portofiolio. Guru yang kompeten adalah guru yang dapat mengumpulkan dan menyusun portofolio. Kerja keras, kesungguhan, kepedulian tidak ada artinya bila tanpa bukti fisik sebagai portofolio, dan sebaliknya, tanpa kerja keras, kesungguhan, kepedulian dapat dinyatakan profesional bila dapat mengumpulkan dan menyusun portofilio. Maka tidaklah salah, demi mengejar sertifikat porfesional banyak waktu untuk anak didik kita tersita oleh kesibukan mengumpulkan dan menyusun portofolio.
Yang lebih ironis, sudah banyak waktu, dan tenaga yang digunakan untuk menyusun fortofolio dinyatakan tidak lulus sertifikasi. Celakanya lagi, kita tidak pernah tahu di mana letak penyebabnya. Bagaimana kita dapat memperbaiki diri bila konfirmasi kekurangan atau kesalahan tidak pernah ada. Yang ada hanya keterangan : tidak lulus dan mengikuti diklat! Padahal, berdasarkan ketentuan peserta yang tidak lulus dalam penilaian portofolio direkomendasi oleh LPTK sebagai penyelenggara sertifikasi : 1) Melengkapi administrasi apabila skor hasil penilaian portofolio telah mencapai batas kelulusan, tetapi masih ada kekurangan administrasi. 2) Melakukan berbagai kegiatan untuk melengkapi dokumen portofolio bagi peserta dengan hasil penilaian portofolio belum mencapai skor minimal kelulusan yaitu memiliki skor 841-849 harus memenuhi skor minimal. 3) Mengikuti PLPG yang dilaksanakan oleh LPTK penyelenggara sertifikasi dan diakhiri dengan uji kompetensi yang pelaksanaannya difasilitasi oleh dinas pendidikan provinasi dan atau dinas pendidikan kabupaten/kota. 4) Peserta yang tidak lulus diberi kesempatan mengikuti ujian ulang sebanyak dua kali, dengan tenggang waktu sekurang-kurangnya dua minggu. Apabila tidak lulus peserta diserahkan kembali ke dinas pendidikan.
Sekali lagi, inilah cermin peningkatan mutu pendidikan kita. Sayangnya cermin yang digunakan telah retak, sehingga tidak dapat menggambarkan obyek yang sebenarnya. Dinas pendidikankan pun diam seribu bahasa.


*Penulis adalah aktivis LSM KOPEN( Forum Komunikasi Pendidik) Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kapanpun, di manapun Anda adalah bagian dari kehidupanku. Aku selalu berharap tegur sapamu!